Baru-baru ini seorang aktifis dakwah terlihat geram. Status facebook miliknya penuh dengan kritik pedas terhadap demokrasi. Ternyata kegusaran aktivis dakwah tersebut tidak sendiri. Puluhan komentar susul menyusul menyatakan hal serupa, hingga salah seorang melayangkan pertanyaan darimana konsep tata negara demokrasi ini muncul.
Sejarah Demokrasi Awal: Ide Penuh Kritik
Demokrasi, rasanya sudah tidak lagi asing terdengar di telinga kita. Hampir di seluruh rentan waktu pada abad 20, demokrasi menjadi sistem paling laris di pasaran dunia. Tak pelak, banyak negara mengadopsi demokrasi sebagai spirit dalam konstitusi kenegaraan mereka, termasuk negara mayoritas muslim seperti Indonesia.
Demokrasi awalnya dinilai sebagai sistem terbaik karena menekankan sebuah sistem yang mementingkan kesejahteraan rakyat sekaligus membuka keran aspirasi rakyat. Konon ia mengacu kepada pemerintahan yang dibentuk dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat pada zaman Yunani kuno. Bagi pengusung ide demokrasi hal ini memungkinkan karena secara etimologi demokrasi berasal dari dua kata demos, yakni rakyat dan kratia yang berarti pemerintahan.
Namun berkaca dengan kondisi Negara-negara dunia yang menerapkan demokrasi, ternyata sistem ini justru mengalami kegagalan waktu demi waktu. Aspirasi rakyat yang tadinya menjadi “tuhan” kini hanya menjadi isapan jembol belaka.
Di Amerika, misalnya, sebuah jajak pendapat baru-baru ini dirilis oleh Gallup dan menunjukkan bahwa dukungan rakyat AS terhadap Kongres turun dari 23 persen menjadi 18 persen pada Februari silam Dukungan publik terhadap Kongres dilaporkan telah menurun lebih rendah daripada 20 persen untuk pertama kalinya sejak Tea Party dan GOP (Grand Old Party, atau sebutan untuk Partai Republik), mengambil kendali tahun ini. Bahkan golongan independen yang mendukung Kongres turun dari 23 persen pada Februari menjadi 15 persen.
Kendati demikian, para pengusung demokrasi tetap berkelit, menurut mereka kebobrokan sistem demokrasi selama ini disebabkan perilaku oknum, dan bukan sistemya. Mungkin karena mereka lupa bahwa demokrasi memliki basis kapitalisme dan liberalism sehingga makna rakyat menjadi kabur.
Ahli Tata Negara, Robert Dahl, seperti dikutip Riza Sihbudi dalam bukunya, “Menyandera Timur Tengah” (2005), menyatakan bahwa sebenarnya kata rakyat dalam demokrasi berbeda sekali dengan apa yang kita fahami saat ini. Dalam konteks Yunani Kuno saat itu, kata “rakyat “ tidak lebih sekumpulan manusia dari sebuah polis atau kota kecil. Hal tersebut membawa konsekuensi logis bahwa apa yang disebut sebagai demokrasi dalam pengertian aselinya pun berbeda dengan demokrasi dalam pemahaman kontemporer. Dalam pandangan Yunani Kuno (awal abad ke 6 sampai ke 3 SM), demokrasi harus memenuhi enam syarat:
- Warga Negara harus cukup serasi dalam kepentingan mereka
- Mereka harus padu dan hommogen
- Jumlah warga Negara harus kecil (bahkan kurang dari 40.000)
- Warga Negara harus dapat berkumpul dan secara langsung memutuskan legislasi
- Warga Negara juga berpartisipasi aktif dalam pemerintah dan,
- Negara kota sepenuhnya otonom.
Kesemuanya itu jelas tidak bisa dipenuhi oleh demokrasi modern, lanjut Dahl. Dalam praktek maupun teori, kewarganegaran harus ekslusif dan bukan inklusif seperti yang terdapat dalam demokrasi modern. Demokrasi model ini saja sudah mendapat kritikan tajam oleh Aristoteles (348-322 SM) dengan menyebut demokrasi sebagai Mobocracy atau the rule of the mob.
Ia menggambarkan demokrasi sebagai sebuah sistem yang bobrok, karena sebagai pemerintahan yang dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkhisme, dan sangat sulit dibayangkan adanya suatu kelompok yang besar (mayoritas) memimpin kelompok yang jumlahnya lebih kecil (minoritas).
Menurut Aristoteles bila negara dipegang oleh banyak orang (lewat perwakilan legislatif) akan berbuah petaka. Dalam bukunya ‘Politics’, Aristoteles menyebut Demokrasi sebagai bentuk negara yang buruk (bad state). Menurutnya negara Demokrasi memiliki sistem pemerintahan oleh orang banyak, dimana satu sama lain memiliki perbedaan (bahkan pertentangan) kepentingan, perbedaan latar belakang sosial ekonomi, dan perbedaan tingkat pendidikan.
Pemerintahan yang dilakukan oleh sekelompok minoritas di dewan perwakilan yang mewakili kelompok mayoritas penduduk itu akan mudah berubah menjadi pemerintahan anarkhis, menjadi ajang pertempuran konflik kepentingan berbagai kelompok sosial dan pertarungan elit kekuasaan.
Perbedaan-perbedaan tersebut menjadi kendala bagi terwujudnya pemerintahan yang baik. Konsensus sulit dicapai dan konflik mudah terjadi. Apa kata Aristoteles ternyata mirip dengan kondisi Indonesia saat ini, dimana kepentingan para parpol menjadi tayangan yang kita saksikan akhir-akhir ini.
Kebebasan Menghancurkan
Selain Aristoteles, Plato (472-347 SM) juga melontarkan kritik tajam. Andai ia masih hidup, rasanya ia sepertI ingin mematahakan buku The End of History and The Last Man (1999) karangan Francis Fukuyama yang mengatakan Demokrasi Liberal adalah pemenangan dari benturan peradaban manusia modern.
Plato justru menekankan bahwa liberalisasi itulah yang menjadi akar Demokrasi sesungguhnya, sekaligus biang petaka mengapa Negara demokrasi akan gagal selama-lamanya.
Dalam pemerintahan demokratis, kepentingan rakyat diperhatikan sedemikian rupa dan kebebasan pun dijamin oleh pemerintah. Semua warga negara adalah orang-orang yang bebas. Kemerdekaan dan kebebasan merupakan prinsip yang paling utama.
Lebih lanjut Plato berstatemen:
.......they are free men; the city is full of freedom and liberty of speech, and men in it may do what they like. (Republic, page: 11)
......mereka adalah orang-orang yang merdeka, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan orang-orang didalamnya boleh melakukan apa yang disukainya.
Dan orang-orang semakin mengejar kemerdekaan dan kebebasan yang tidak terbatas. Akibatnya ialah bencana bagi negara dan juga bagi para warganya sendiri. Setiap orang ingin mengatur diri sendiri dan berbuat sesuka hatinya sehingga timbullah berbagai kerusuhan yang disebabkan oleh berbagai tindakan kekerasan (violence), ketidaktertiban atau kekacauan (anarchy), kejangakkan/ tidak bermoral (licentiousness) dan ketidaksopanan (immodesty).
Menurut Plato, pada masa itu citra negara benar-benar telah rusak. Ia pun menyaksikan betapa negara menjadi rusak dan buruk akibat penguasa yang korup. Karena Demokrasi terlalu mendewa-dewakan (kebebasan) individu yang berlebihan sehingga membawa bencana bagi negara, yakni anarki (kebrutalan), dari sini muncul tirani (kezaliman).
Banyak orang yang (kala itu) melakuan hal yang tidak senonoh, anak-anak kehilangan rasa hormat terhadap orang tua, murid merendahkan guru, dan hancurnya moralitas.
Oleh karena itu, dalam era perkembangan Yunani, intrik para raja dan rakyat banyak sekali terjadi. Hak-hak rakyat tercampakkan. Korupsi merajalela, dan demokrasi tidak mampu memberikan keamanan bagi rakyatnya.
Nah jika di Yunani saja, Demokrasi telah gagal, kenapa banyak Umat Muslim mengikutinya?
Terlebih pembuatan undang-undang dalam Islam yang menjadikan kitabullah sebagai sandaran, tidak semata-mata pada tujuan kesejahteraan, tapi juga bagian dari tauhid menjalankan perintah Allah SWT.
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka, dan mereka tidak lain membuat kebohongan (Al-An’aam: 116)”
“Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati mayoritas mereka orang-orang yang fasik.” (Al-A’raaf: 102)
“Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kalian, tetapi kebanyakan dari kalian membenci kebenaran itu.” (Az-Zukhruf: 78)
(pz/dari berbagai sumber)
Soalnya Rasulullah SAW ga pernah nglarang soal Demokrasi kalee..
ReplyDelete