oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Dua puluh kali! Jika setiap hari kita mendengarkan azan dengan sempurna, setidaknya 20 kali kita dituntunkan menjawab seruan dengan mengucapkan hauqalah (laa haula wa laa quwwata illa biLlah). Setiap kali muazin berseru “hayya ‘alash shalaah” (mari kita shalat), kita menjawabnya dengan pernyataan betapa tak berdayanya kita. Kita berkata, “Laa haula wa laa quwwata illa biLlah. Tiada daya dan upaya selain semata karena Allah.” Dan bukannya berkata, “InsyaAllah.” Atau “Bismillah, pasti bisa.”
Dua puluh kali! Jika setiap hari kita mendengarkan azan dengan sempurna, setidaknya 20 kali kita dituntunkan menjawab seruan dengan mengucapkan hauqalah (laa haula wa laa quwwata illa biLlah). Setiap kali muazin berseru “hayya ‘alash shalaah” (mari kita shalat), kita menjawabnya dengan pernyataan betapa tak berdayanya kita. Kita berkata, “Laa haula wa laa quwwata illa biLlah. Tiada daya dan upaya selain semata karena Allah.” Dan bukannya berkata, “InsyaAllah.” Atau “Bismillah, pasti bisa.”
Begitu pula tatkala muazin berseru, “Hayya ‘alal falaah. Mari meraih kemenangan.” Kita menjawab seruan tersebut dengan hauqalah pula, “Laa haula wa laa quwwata illa biLlah.” Kita menyatakan diri di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla seraya mengakui sepenuhnya betapa tak berdaya diri kita. Tak ada yang dapat kita lakukan, meski untuk perkara yang sangat kecil, kecuali semata atas perkenan dan daya yang Allah Ta’ala limpahkan kepada kita.
MasyaAllah.... Betapa berbeda. Dulu para salafush-shalih menggemarkan diri mengucapkan hauqalah seraya menghayati betul tak berdayanya diri. Mereka senantiasa mengharap pertolongan kepada Allah ‘Azza wa Jalla seraya bersungguh-sungguh menetapi apa-apa yang dapat menjadi asbab kebaikan. Mereka merasa lemah di hadapan Allah Ta’ala, senantiasa menghimpun rasa takut dan sekaligus harap yang amat kuat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka menajamkan tawakkalnya kepada Allah Ta’ala. Betul-betul bersandar kepada Allah Ta’ala dalam segala urusan. Bukan bersandar pada cara-cara berdo’a sehingga terjatuh pada zhan (persangkaan, keyakinan) yang buruk bahwa terkabulnya do’a dan terwujudnya keinginan bergantung pada cara. Sepintas mungkin tampak sama, tapi amat jauh bedanya. Yang pertama menjadikan kita semakin berharap hanya kepada Allah Ta’ala dan menambah rasa takut kita kepada-Nya, mengkhawatiri banyaknya salah kepada-Nya. Sedangkan yang kedua, kerapkali justru menjatuhkan kita pada ghurur (terkelabuhi). Salah satunya merasa amal sangat baik sehingga layak bagi Allah Ta’ala untuk mengabulkan do’a kita. Kita terjatuh pada persangkaan bahwa baiknya amal kita itulah penyebab Allah Ta’ala perkenan do’a kita. Sementara generasi salafush-shalih justru sering dihimpit rasa khawatir kalau-kalau do’a mereka tertolak oleh rusaknya niat, kurangnya kesungguhan dan berbagai kekhawatiran lain; kekhawatiran yang menjadikan mereka lebih bersungguh-sungguh berbenah dan menyandarkan diri hanya kepada Allah Ta’ala semata.
Berkenaan dengan keutamaan hauqalah, mari kita renungi sejenak hadis riwayat Al-Bukhari. RasulullahshallaLlahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehatkan kepada ‘Abdullah bin Qais radhiyallahu ‘anhu:
يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ قُلْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ . فَإِنَّهَا كَنْزٌ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ
“Wahai ‘Abdullah bin Qais, katakanlah ‘laa haula wa laa quwwata illa biLlah’, karena ia merupakan simpanan pahala berharga di surga” (HR. Bukhari).
Inilah ucapan yang amat tinggi nilainya. Ia menjadi simpanan pahala berharga di surga. Inilah ucapan yang menjadikan generasi salafush-shalih senantiasa bersungguh-sungguh menguatkan keyakinan kepada Allah Ta’ala, pengharapan hanya kepada-Nya serta percaya bahwa tak ada madharat sekecil apa pun yang akan menimpa mereka jika Allah ‘Azza wa Jalla tak mengizinkan. Pun, tak ada kebaikan sekecil apa pun yang sanggup mereka raih, tidak pula amal shalih dapat dikerjakan secara ikhlas, kecuali semata karena perkenan Allah subhanahu wa ta’ala.
Mereka bersibuk membangun percaya Allah Ta’ala dan mengikis percaya diri. Mereka menjauhkan diri dari memastikan suatu perkara akan terjadi, kecuali apa yang Allah Ta’ala telah pastikan dalam nash yang shahih bahwa itu pasti akan terjadi. Mereka inilah yang melazimkan diri mengucapkan “insyaAllah” ketika mereka sangat bersungguh-sungguh untuk memenuhi janji. Ucapan “insyaAllah” menjadi janji yang mereka justru amat besar rasa takutnya untuk meremehkan, sebab pada kata “insyaAllah” ada janji kepada manusia sekaligus janji kepada Allah Ta’ala. Sungguh, amat berbeda dengan yang kita dengar pada banyak manusia di sekeliling kita belakangan ini yang menjadikan kata “insyaAllah” sebagai pengganti kata mungkin, bahkan untuk menunjukkan kemungkinan besar kita tak penuhi janji.
Astaghfirullahal ‘adzim.
Bersebab menyadari betapa tak berdayanya diri di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, maka mereka senantiasa berdo’a memohon petunjuk dan kekuatan. Tidaklah kita mampu bertauhid dengan benar, kecuali semata karena pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla. Tidak pula kita dapat menjauhkan dari keburukan, kecuali karena pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada daya untuk menghindarkan diri dari maksiat selain dengan perlindungan dari Allah. Tidak ada kekuatan untuk melaksanakan ketaatan selain dengan pertolongan Allah.”
Lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita sedang menuju kemuliaan yang sama? Ataukah kita sedang belajar menepuk dada dan mengajarkan hal yang sama kepada anak-anak kita? Jika Imam Nawawi rahimahullah menolak digelari “muhyiddin (penghidup agama)”, maka hari ini kita saksikan betapa banyak manusia yang memberi gelar luar biasa untuk diri sendiri. Di antara mereka, sebagiannya bahkan mengaku ustadz.
Pelajaran apakah yang kita ambil? Hari ini, di negeri ini, kita menjadi mayoritas tak berdaya.
Berjaya karena Tak Berdaya
Jika kita merenungi kalimat hauqalah (laa haula wa laa quwwata illa biLlah), maka sepatutnya kita menyadari betapa lemah diri ini. Kita tak punya kuasa, bahkan untuk melaksanakan kebaikan yang paling sederhana. Tetapi kita tidak merasa lemah, sebab kita yakin Allah Ta’ala Yang Maha Perkasa amat dekat pertolongan-Nya.
Sepintas sama, tapi sangat berbeda kedua. Menyadari lemahnya diri menjadikan kita tak jumawah; tidak pongah karena merasa lebih hebat dibanding sesama. Tetapi kita pun tak gemetar melihat orang yang menampakkan kebesarannya karena sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Lebih Besar. Kita tidak takut bukan karena yakin diri kita kuat, tapi justru karena yakin sebesar apa pun kekuatan yang menghadang kita, Allah Ta’ala Maha Lebih Kuat. Adapun merasa diri lemah menjadi kita minder, tak punya keberanian mengatasi masalah hanya karena menghadapi kesulitan yang tak seberapa. Lidah kita keluh, kepala tak bisa tegak hanya karena berhadapan dengan orang yang berpenampilan sedikit wah.
Sungguh, tak akan pernah lagi kita jumpai generasi yang berani menghadap para kaisar yang namanya menggetarkan tanpa tunduk wajahnya, meski kusut rambutnya. Tak akan pernah lagi kita jumpai generasi yang berdebu pakaiannya, tetapi tegap langkahnya menghadapi para penguasa. Tak gemetar kakinya, tak tumpul pikirannya, tak keluh lidahnya. Tak akan pernah lagi kita jumpai generasi seperti itu kecuali jika kita tumbuhkan dalam diri mereka pengakuan dan kesadaran betapa tak berdayanya diri di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Laa haula wal laa quwwata illa biLlah. Tak akan pernah lahir generasi yang mantap langkahnya meski tak mengenakan jas beserta dasi yang melilit leher, kecuali jika anak-anak itu kuat imannya dan lurus aqidahnya.
Semoga Allah Ta’ala perkenankan anak-anak kita sebagai generasi yang meninggikan kalimat Allah Ta’ala di muka bumi. Mereka mengagungkan apa pun yang Allah Ta’ala titahkan, sehingga senantiasa bersungguh-sungguh melakukan apa pun yang dapat mengantarkan mereka pada kebaikan. Semoga Allah Ta’ala menjadikan mereka sebagai generasi yang senantiasa menetapi perintah Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلا تَعْجِزَنَّ , وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلا تَقُلْ : لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا لَكَانَ كَذَا وَ كَذَا , وَلَكِنْ قُلْ : قَدَرُ اللهِ وَ مَا شَاءَ فَعَلَ , فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Bersungguh-sungguhlah dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusan), serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu (kegagalan), maka janganlah kamu mengatakan, ‘seandainya aku berbuat demikian, pastilah tidak akan begini atau begitu’. Tetapi katakanlah, ‘ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki’. Karena sesungguhnya perkataan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan setan”. (HR. Muslim).
Telah berlalu berbagai generasi sebelum kita. Ada pelajaran besar yang harus kita renungkan. Telah berlalu masa-masa kejayaan Islam. Telah berlalu pula zaman yang disebut keemasan, tetapi sesungguhnya ini merupakan titik balik yang mengantarkan kita pada keruntuhan demi keruntuhan. Generasi terbaik itu adalah para salafush-shalih yang lebih ringan berkata “saya tidak tahu” daripada bersibuk mengesankan diri tahu. Generasi terbaik itu adalah mereka yang bersibuk membangun kepercayaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla seraya berserah diri kepada-Nya. Bukan generasi yang bersibuk menepuk dada dan membangun percaya diri karena merasa hebat luar biasa. Generasi terbaik itu berjaya karena merasa tak berdaya.
Bagaimana dengan kita? Bagaimana pula kita menyiapkan anak-anak kita?
Astaghfirullah.... Semoga Allah Ta’ala mengampuni kita dan membaguskan kita beserta anak-anak kita.
*** Tulisan ini dimuat di majalah KARIMA, majalah Hidayatullah edisi khusus tentang parenting. Tulisan ini sebenarnya belum selesai. Saya berharap dapat menyelesaikannya dan memuat di facebook dengan cara editing notes atau menampilkan sebagai tulisan baru dengan mencantumkan keterangan tentang tulisan tersebut.
No comments:
Post a Comment