19.2.11

Kewajiban Da'wah dan Konsekuensinya

Dakwah secara bahasa adalah berarti seruan, dan ajakan (kamus Ash Shihah 6/2336, kamus  Mu’jamul Wasit  1/286). Adapun menurut istilah pengertiannya banyak sekali, di antaranya adalah menurut syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Dakwah adalah mengajak seseorang agar beriman kepada Allah dan yang dibawa oleh para rasulNya dengan cara membenarkan apa yang mereka beritakan dan mengikuti apa yang mereka perintahkan (Majmu’ Fatawa  oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiyah 15/157).

Semua umat Islam sepakat bahwa dakwah adalah amalan yang disyariatkan dan masuk kategori fardhu kifayah. Tidak boleh kategori diabaikan, diacuhkan, dan dikurangi bobot kewajibannya. Hal itu disebabkan terdapat banyak perintah dalam Al-Qur’an dan As Sunah untuk berdakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar, seperti firman Allah: 

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.”  
 (Ali Imran:104).

Ayat ini bersifat  umum dan merupakan kewajiban atas setiap individu untuk melaksanakannya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Huruf (من) disitu berarti penjelas. Kalau menjadi penjelas maknanya jadilah kamu wahai kaum mukminin sebagai umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang mungkar (lihat Jami’ul Bayan oleh At-Thabary 4/26). Atau sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir, maksud dari ayat ini adalah jadilah kamu sekelompok orang dari umat yang melaksanakan kewajiban dakwah. 

Kewajiban ini wajib atas setiap muslim, sebagaimana hadits shohih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam, “Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya, kalau tidak mampu, hendaklah mengubah dengan lisannya, kalau tidak mampu hendaklah mengubah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” Dan pada riwayat lain,  “Dan setelah itu tidak ada iman sedikitpun.”  (Lihat  Tafsil Al-Qur’an Al-‘Azhim, oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir, 1/390).

Marilah kita sejenak merenung dan meresapi untaian di bawah ini. Apa yang dialami Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan para sahabat dalam berdakwah? Mereka disiksa, diteror ada yang dibunuh, bahkan ada pula yang diembargo ekonomi dalam jangka waktu yang lama. Mereka sempat makan rumput-rumputan dan daun-daunan hingga mulut dan lidah mereka pecah-pecah.

Apa yang dialami Imam empat yang terkenal itu?
Imam Abu Hanifah, beliau dijebloskan dalam penjara gara-gara berdakwah dan mengatakan yang haq itu haq dan yang batil itu batil. 

Imam Malik, karena menegakkan kebenaran beliau rela dipukuli sampai kedua tulang belikat beliau hampir lepas karena kerasnya pukulan. 

Imam Syafi’i, gara-gara membela kebenaran beliau dimasukkan bui dan mau dibunuh oleh raja pada saat itu.

Imam Ahmad bin Hanbal, yang pada zamannya ada fitnah dari kaum mu’tazilah bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Allah. Akhirnya, beliau menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah bukan makhluk. Dari pernyataannya yang tegas itu, beliau dimasukkan bui dan dicambuk beberapa kali, hingga sebagian algojo yang menyiksa beliau membuat kesaksian dengan mengatakan, bahwa Imam Ahmad dicambuk sebanyak delapan puluh kali, jikalau gajah dicambuk seperti itu maka akan mati terkapar. Maka beliau terkenal dengan sebutan Imam As-Sunnah, karena membela sunnah Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam dan Al-Haq.

Lalu apa yang diderita Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya yang terkenal yaitu Syaikhul Islam Ats-Tsani Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah?

Ibnu Taimiyah, karena berdakwah dan membela kebenaran, beliau rela masuk penjara, tak sempat menikah hingga beliau mati dalam penjara. Kata-kata beliau yang cukup terkenal yang patut kita ambil pelajaran: 
 Apakah yang akan diperbuat musuh-musuh kepadaku? Jika aku dipenjara, penjaraku adalah khalwat (untuk beribadah pada Rabb). Jika diasingkan, pengasinganku adalan tamasya. Jika aku dibunuh, kematianku adalah syahadah. 
Itulah kata-kata beliau dalam tekadnya membela kebenaran.
Siapakah yang mampu menundukkan orang-orang yang segala alternatif perjuangannya adalah serba baik,
sebagaimana beliau? 

Tidak ada, kecuali Maha Perkasa yang dengannya justru menaklukkan manusia ke dalam lindungan syari’at Islam nan agung dan penuh rahmat (Lihat buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah oleh Abul Hasan An-Nadawi).

Ibnul Qayyim, dalam membela kebenaran ia rela diikat badannya lalu diarak keliling kampung dan diludahi masyarakat, namun beliau tetap tegar dalam berdakwah sampai akhir hayatnya (Dari kitab  Zadul Ma’ad).


Seorang da’i haruslah pandai dalam menyampaikan dakwah. Sebab darinyalah satu sebab dari beberapa sebab umat dapat paham Islam yang benar. Oleh karena itu dakwahnya harus sesuai Al-Qur’an dan As Sunah serta sesuai dengan manhaj nubuwwah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam. Sebagaimana hal itu sesuai dengan firman Allah: 

 “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125).

Seorang da’i haruslah selalu introspeksi diri, apakah dakwahnya karena Allah atau karena yang lain: Dalam firman Allah di atas tadi, kata  bil hikmah, Imam Syafi’i memberi komentar: “Setiap hikmah dalam Al-Qur’an berarti As-Sunnah”.

Dan berkaitan dengan kata As-Sunah artinya adalah dakwah itu harus mengikuti sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam, bukan berdakwah mengajak orang pada golongan, partai tertentu yang marak hari ini, demokrasi, sekularisme dan lain-lain yang antagonis dengan Islam, silakan lihat komentar Imam Syafi’i dalam kitab  Al-Madkhal fil Aqidah, hal 24.


[====]

No comments:

Post a Comment